Terminologi Politik
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Pada dasar katanya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa Ulil Amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ فُرَاتٍ القَزَّازِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ، قَالَ: قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ، فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: «فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, dan menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya.
Politik Adalah Fitrah
Kader Ansor masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat kader kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan kader di dunia nyata dan lewat dunia maya terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, perilaku korup dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli (1469-1527) yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian sebagian kader Ansor terhadap politik.
Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh Kader Ansor secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan pengorganisasian urusan masyarakat / publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Pandangan Islam Mengenai Politik
Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan termasuk di dalamnya adalah politik. Tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempurna. Seperti ungkapan bahwa “tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya”.
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
Lengkapnya Imam Al-Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”. Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah Islam memandang pollitik
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin Islam terdahulu telah membuktikanya.
Politik dan Anggaran
Dalam pelaksanaannya, Politik (siyasah) terbagi dalam beberapa bidang, di antaranya: siyasah dusturiyan (konstitusi), siyasah tasri’iyah (legislatif), siyasah qadhaiyah (peradilan), siyasah idariyah (administrasi), siyasah tanfiziyah (eksekutif), siyasah kharijiah (luar negeri), dan siyasah maliyah (keuangan). Bidang yang terakhir, dalam konteks ke-Indonesiaan dikenal dengan istilah Politik Anggaran.
Anggaran merupakan instrumen kebijakan yang dimiliki oleh Pemerintah untuk menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas negara. Anggaran juga mempunyai pengertian sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran financial.
Tahap penganggaran menjadi sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. Sehingga tujuan dari penganggaran harus dipahami oleh perumus kebijakan anggaran, yaitu anggaran harus berbasis kinerja dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Berbasis kinerja mempunyai pengertian bahwa anggaran yang disusun harus terukur, serta memenuhi unsur input (masukan), output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat) dan impact (dampak).
Dengan demikian setiap anggaran belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya, sehingga setiap belanja harus berdasarkan pada usaha untuk mewujudkan tercapainya tujuan pemerintah yang tentu saja, bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Tujuan Politik Anggaran
Dasar hukum dari politik anggaran adalah Pasal 23 UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, “(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden, pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.”
Tujuan dari politik anggaran adalah untuk membelanjakan uang rakyat secara tepat, terarah, berkeadilan, dan memenuhi rasa kemanusiaan demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan makmur. Selain itu, tujuan politik anggaran adalah untuk menemukan arah dan prioritas sasaran pembangunan nasional, serta dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pelaksanaannya harus sesuai dengan program yang telah disusun.
Peran Ansor dalam Politik dan Anggaran
Ansor sebagai Badan Otonom NU adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Dalam pendiriannya, NU bukanlah sebuah organisasi politik yang berorientasi pada kekuasaan. NU merupakan organisasi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yaitu bentuk organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Kiprah para kader Ansor dan NU secara umum, dalam percaturan politik dari dulu hingga sekarang dibutuhkan masyarakat dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan, meneguhkan NKRI, menjaga stabilitas negara, dan mewujudkan kesejahteraan. Komitmen tersebut diwujudkan dalam praktik politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.
Praktik politik ini digagas oleh KH. Sahal Mahfudh dengan nama politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama. Praktik politik ini demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Secara garis besar, pedoman berpolitik warga NU tertuang dalam naskah Khittah 1926 yang dimulai dari Muqaddimah hingga Khotimah yang terdiri dari sembilan penjelasan. Namun, untuk mengoperasionalkan naskah khittah hasil Muktamar ke-27 NU 1984 tersebut, Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta menyusun Sembilan Pedoman Berpolitik bagi warga NU.
Oleh: Irvan Maria Hussein (Ketua PAC GP Ansor Kota Kudus)
Sahabat, mohon gunakan kalimat yg bijak dalam berkomentar